LIRA

Perpol 10/2025 dan Amnesia Konstitusi

Laporan: Admin
19 Desember 2025 | 16:00 WIB
Share:
Presiden LIRA, Andi Syafrani

NEGARA hukum tidak runtuh karena ketiadaan aturan, melainkan karena hilangnya ingatan konstitusional para pembentuk dan pelaksana aturan. Ingatan tentang batas kewenangan, kepatutan konstitusional, dan posisi konstitusi sebagai hukum tertinggi. Ketika ingatan ini disisihkan, regulasi berhenti menjadi instrumen penegakan hukum dan berubah menjadi mekanisme penghindaran hukum yang dilegalkan.

Fenomena tersebut tampak jelas dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang ditetapkan pada 9 Desember 2025, sekitar satu bulan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2025 diucapkan secara terbuka.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2025 diucapkan pada 13 November 2025. Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 ditetapkan pada 9 Desember 2025 dan diundangkan pada 10 Desember 2025.

Perpol ini lahir setelah koreksi konstitusional diberikan secara resmi dan terbuka, sehingga tidak dapat dibenarkan sebagai respons atas kekosongan hukum atau masa transisi norma. Fakta kronologis ini menegaskan bahwa Perpol 10/2025 merupakan pilihan normatif sadar, bukan kelalaian administratif.

Hanya berselang satu bulan setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa tertentu dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri inkonstitusional, Polri menerbitkan Perpol dengan judul dan substansi yang secara esensial beririsan dengan norma yang telah dibatalkan. Perpol ini tidak mempertegas kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan menghadirkan kembali substansi norma yang sama melalui rekayasa redaksional dengan makna yang ekuivalen.

Perpol 10/2025 tidak lahir dari kekosongan hukum, tetapi dari pilihan sadar untuk mengaburkan batas antara kewenangan konstitusional dan kepentingan institusional.

Frasa “melaksanakan tugas di luar struktur organisasi kepolisian” bukan persoalan bahasa, melainkan persoalan konstitusional, karena beririsan langsung dengan norma yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

Lebih problematik lagi, Perpol ini tidak menempatkan Putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Polri sebagai rujukan normatif dalam konsiderannya. Dalam negara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi bukan opini yudisial, melainkan norma konstitusional yang mengikat seluruh lembaga negara tanpa pengecualian. Di titik inilah Perpol 10/2025 memperlihatkan gejala amnesia konstitusional: lupa bukan karena tidak tahu, tetapi karena ingatan konstitusional dianggap mengganggu fleksibilitas kekuasaan.

Norma Inkonstitusional

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2025 menegaskan batas yang jelas dan tidak ambigu. Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 dimaknai sebagai berikut:

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.”

Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini bersifat final, mengikat, dan berlaku erga omnes, tanpa ruang tafsir kreatif.

Setelah frasa tersebut dibatalkan, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri hanya menyisakan satu makna resmi, yaitu:

“Yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian.”

Makna resmi ini bersifat mengikat dan menutup seluruh kemungkinan penempatan anggota Polri aktif pada jabatan yang masih memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian. Di titik inilah terjadi tabrakan langsung antara norma UU Polri pasca koreksi Mahkamah Konstitusi dengan Perpol 10/2025, yang justru mengatur jabatan dengan keterkaitan langsung pada fungsi kepolisian. Ini bukan hanya inkonsistensi normatif semata, melainkan inkonstitusional sekunder.

Namun Perpol 10/2025 kembali memperkenalkan konstruksi normatif serupa melalui frasa “melaksanakan tugas di luar struktur organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Perbandingan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perpol ini memperlihatkan persoalan mendasar yang tidak dapat disamarkan sebagai perbedaan redaksi. Secara bentuk istilah berubah, tetapi secara makna hukum dan efek normatif, fungsinya tetap sama: membuka kembali ruang penempatan anggota Polri aktif di luar struktur organisasi kepolisian.

Hukum tidak dinilai dari pilihan kata, melainkan dari konsekuensi normatifnya. Ketika satu frasa dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi, lalu dihidupkan kembali melalui istilah lain yang memiliki makna dan dampak identik, yang terjadi bukan penyesuaian hukum, melainkan penghindaran konstitusi secara sistematis. Norma yang telah dinyatakan mati dihidupkan kembali melalui jalur administratif.

Pasal 3 ayat (4) Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 secara eksplisit menyatakan:

“Jabatan tersebut adalah jabatan pada instansi yang berkaitan dengan fungsi kepolisian, atas permintaan kementerian, lembaga, badan, komisi, organisasi internasional, atau perwakilan negara asing.”

Kutipan ini menegaskan bahwa yang diatur bukan tugas insidental, melainkan jabatan struktural dan institusional, sekaligus memperkuat kritik mengenai judul menipu, fungsi ganda, dan praktik constitutional backsliding.

Praktik ini dikenal sebagai constitutional backsliding. Kemunduran konstitusional tidak dilakukan dengan pembangkangan terbuka, tetapi melalui regulasi teknis yang tampak patuh secara prosedural. Konstitusi tidak dilanggar secara frontal, tetapi dikosongkan maknanya secara perlahan dan terencana.

Jika praktik ini dibiarkan, putusan Mahkamah Konstitusi akan tereduksi menjadi teks simbolik tanpa daya ikat nyata. Setiap koreksi konstitusional dapat dinegosiasikan ulang melalui perubahan istilah dan pengemasan administratif. Inilah bahaya utama Perpol 10/2025: bukan pada satu frasa, tetapi pada preseden bahwa batas konstitusi dapat disiasati melalui teknik perumusan regulasi.

Judul yang Menyesatkan Tafsir

Dalam hukum, judul bukan kosmetik. Judul adalah pintu masuk makna dan orientasi tafsir. Ketika judul Perpol berbicara tentang “tugas”, sementara substansinya mengatur “jabatan”, terjadi ketegangan normatif yang serius. Frasa “melaksanakan tugas di luar struktur organisasi Polri” menyamarkan fakta bahwa yang diatur adalah jabatan struktural dan fungsional dengan implikasi kewenangan.

Dalam hukum publik, perbedaan antara tugas dan jabatan menentukan ruang kewenangan, mekanisme pengawasan, dan pertanggungjawaban hukum.

Judul yang tidak mencerminkan substansi memperlebar ruang tafsir dan mempersempit akuntabilitas. Aparat pelaksana memperoleh diskresi berlebihan, sementara publik dan lembaga pengawas kehilangan pijakan normatif yang tegas. Kepastian hukum terkikis sejak dari pintu masuk regulasi.

Judul seharusnya mencerminkan isi secara jujur dan presisi. Ketika judul justru menutupi substansi, hukum berubah menjadi instrumen kekuasaan yang licin, bukan norma yang memberi arah dan kepastian.

Secara normatif, judul yang jujur dan konstitusional seharusnya secara eksplisit menyebut substansi pengaturannya, misalnya:

“Tata Cara Pengangkatan Anggota Polri dalam Jabatan yang Mempunyai Sangkut Paut dengan Tugas Kepolisian di Dalam dan Luar Negeri.”

Alternatif ini menunjukkan bahwa kritik terhadap Perpol 10/2025 bersifat korektif dan solutif, bukan destruktif.

Dwifungsi dalam Bentuk Baru

Tidak dicantumkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Polri dalam konsideran Perpol 10/2025 bukan hanya soal kekeliruan administratif, melainkan pengingkaran simbolik terhadap daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi. Asas lex superior derogat legi inferiori bukan doktrin mati. Menghindari rujukan pada norma yang lebih tinggi berarti membuka ruang pembangkangan konstitusional secara terselubung.

Sebagaimana diingatkan Bivitri Susanti, pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi oleh pembentuk kebijakan merupakan bentuk pelemahan sistematis terhadap supremasi konstitusi.

Ketika regulasi turunan disusun tanpa menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai rujukan utama, yang terjadi bukan cacat prosedural, melainkan erosi terhadap hierarki hukum itu sendiri.

Dalam konteks ini, penempatan anggota Polri aktif di luar struktur, termasuk di lembaga sipil dan organisasi internasional, berpotensi mengaburkan batas antara fungsi sipil dan keamanan. Reformasi sektor keamanan dibangun atas kesadaran bahwa kekuasaan koersif harus dibatasi, bukan disebar melalui mekanisme administratif. Ketika pengecualian semacam ini dinormalisasi, dwifungsi tidak kembali sebagai doktrin resmi, tetapi menjelma sebagai praktik yang dilegalkan.

Sebagaimana diingatkan Feri Amsari, dwifungsi kerap hadir dengan wajah baru yang tampak rapi secara hukum, tetapi problematik secara konstitusional. Pengaturan penempatan anggota Polri aktif pada organisasi internasional dan kantor perwakilan negara asing bahkan melampaui persoalan domestik, karena menyentuh isu netralitas aparat keamanan, relasi diplomatik, serta standar civilian control of security forces dalam hukum internasional.

Pada titik ini, Perpol 10/2025 tidak lagi dapat dibaca sebagai regulasi internal semata, melainkan sebagai persoalan demokrasi dan tata kelola kekuasaan yang relevan dalam konteks global.

Kembali ke Konstitusi

Solusi atas Perpol 10/2025 bukan kosmetik regulasi, melainkan kejujuran konstitusional. Judul harus secara tegas menyebut jabatan yang berkaitan dengan kepolisian. Norma harus diselaraskan dengan ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi, bukan mengikuti bunyi formalnya. Pengaturan relasi lintas lembaga semestinya ditempatkan pada tingkat Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, atau melalui revisi UU Polri, agar kepastian hukum dan akuntabilitas demokratis terjaga.

Dalam prinsip tata negara, pengaturan yang menyentuh relasi antarlembaga, implikasi demokrasi, dan kekuasaan koersif tidak layak diatur melalui regulasi internal institusi. Bentuk yang konstitusional adalah revisi UU Polri atau paling minimal Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Kritik ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk menjaga profesionalisme, netralitas, dan legitimasi konstitusionalnya dalam negara hukum demokratis.

Perpol 10/2025 adalah ujian nyata komitmen negara terhadap rule of law konstitusional. Ketika amnesia konstitusional dibiarkan, hukum tidak runtuh karena kekurangan norma, tetapi karena ditinggalkan oleh para penjaganya sendiri.

Selama kesadaran kritis publik tetap hidup, negara hukum masih memiliki peluang untuk dipulihkan—dengan satu syarat mendasar: konstitusi diingat sebagai batas kekuasaan, bukan hambatan kekuasaan.(*)

 

  • Andi Syafrani
  • Presiden Dewan Pimpinan Pusat Lumbung Informasi Rakyat (DPP LIRA)
Share:
Rekening LIRA
MARS LIRA
AGENDA
Belum ada data, lihat history.
FEED INSTAGRAM
FACEBOOK PAGE
Sejarah LIRA