Bisnis Seragam Sekolah Pada Pendidikan Dasar

MALANG - Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Setiap warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Ketentuan hukum positif tersebut, merupakan salah satu norma hukum dari penjabaran Pasal 28 C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”, dan seharusnya cukup dengan norma tersebut, sudah bisa menjadi landasan bahwa tidak boleh ada pungutan berlebihan dalam pendidikan dasar, termasuk dalam hal ini terkait dengan pengadaan seragam sekolah untuk peserta didik, atau dengan kata lain terkait dengan seragam sekolah tidak boleh menjadi beban yang mempersulit anak untuk mendapatkan hak akan Pendidikan (sekolah), sebab secara prinsip, pengadaan pendidikan adalah kewajiban negara.
Beberapa saat lagi disekitaran bulan Juli pada saat setelah usai masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), hal mana akan terdapat peserta didik baru yang akan menempuh jenjang Pendidikan baik pada tingkat Dasar maupun Menengah, tentu akan segera memulai proses belajar, dan dimasa permulaan inilah seringkali masih saja terdapat peristiwa bisnis seragam sekolah.
Mungkin bisa dianggap sebagai isu yang sepele, sebab mungkin nyatanya jamak karena sejak tempo dulu hal itu biasa terjadi, dengan alasan demi menanamkan nilai Disiplin dan semangat Keseragaman sebagai identitas untuk memupuk rasa memiliki terhadap sekolah, dalam bingkai Kesetaraan di antara siswa dari berbagai latar belakang.
Memang dalam konteks nilai filosofis sebagaimana dimaksud dalam Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik jenjang Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah, sampai-sampai kadang terlewatkan untuk mengkritisi model pengadaannya yang ternyata bisa dimuati unsur pemaksaan terselubung, dan juga bisa melestarikan nilai-nilai korupsi.
Untuk jangan sampai dilupakan, bahwa sebagaimana Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sehingga secara prinsip berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan dasar tidak boleh dilakukan dengan memungut biaya, apalagi bilamana dapat berpotensi untuk adanya korupsi, sebab secara terselubung dilakukan oleh sekolah untuk misalnya (1) mewajibkan pembelian paket seragam dari sekolah. (2) Sekolah menunjuk vendor atau pihak ketiga secara eksklusif. (3) Seragam dijadikan syarat penerimaan siswa baru, yang kesemuanya seolah diakali dengan sebuah tanda tangan siswa/walinya diatas materai atas suatu pernyataan “seolah-olah” pembelian seragam melalui sekolah (akantetapi biasanya melalui pihak ke-tiga) tersebut dilakukan dengan sukarela.
Padahal sejatinya pembuatan pernyataan “sukarela” oleh siswa/ walinya yang biasanya juga disediakan template/konsep surat pernyataan sukarela oleh sekolah sebagai klausul baku, sejatinya adalah menyalahi konsepsi kesepakatam/perjanjian menurut hukum sebagaimana amanat Pasal 1321 KUHPerdata “"Tiada suatu perjanjian pun yang sah apabila diberikan oleh kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan." yang artinya apabila suatu perjanjian dibuat dengan ada paksaan baik secara fisik atau psikis, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, apalagi bilamana kwalitasnya hanya setara pernyataan sepihak akan kesanggupan, maka sebenarnya mudah saja untuk dibatalkan secara sepihak pula.
Lebih lanjut pada dasarnya didalam PP 17/2010, sebenarnya pemerintah juga telah secara tegas melarang setiap kegiatan penjualan seragam dan atribut sekolah di lingkungan sekolah, hal mana larangan tersebut tertuang di dalam Pasal 181 198 PP 17/2010 yang berbunyi “Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan Pendidikan”, dan Pasal 198 PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan Pendidikan, bahkan didalam Pasal 27 ayat (1) huruf b angka 2 Permendikbud 1/2021 tegas menyatakan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB, dan untuk menjamin kesemua hal tersebut dipenuhi, terhadap pendidik dan tenaga kependidikan yang melakukan penjualan seragam atau dalam hal ini bahan seragam dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan masih relative baru berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara No. 3/PUU-XXII/2024, semakin menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta, sehingga bilamana masih ditemukan adanya permintaan yang berkwalifikasi mengharuskan adanya pembelian seragam oleh sekolah walaupun dilabeli dengan pernyataan sukarela, bisa jadi hal tersebut masih memenuhi unsur pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, atau bahkan bisa jadi memenuhi unsur korupsi, atau minimal akan terkait dengan praktek ekploitasi ekonomi atas anak, sebagaimana dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan”.
Frasa memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak akan cukup relevan dengan perkara melakukan pemungutan kapada peserta didik untuk tujuan menguntungkan diri pribadi atau golongan secara ekonomi.Termasuk tapi tidak terbatas pula untuk tidak ada pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Pasal 421 (Penyalahgunaan Jabatan) : Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidanapenjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Oleh sebab itu, semoga saja pada PPDB periode tahun 2025 ini, setidaknya di Kabupaten Malang tidak akan lagi ditemukan adanya kewajiban pembelian paket seragam dari sekolah dijadikan syarat penerimaan siswa baru, baik dilakukan secara langsung atau melalui vendor/pihak ke-tiga, seperti pernah suatu kali terjadi, hal mana disuatu sekolah, murid baru diminta untuk membayar berkisar kurang lebih sampai dengan Rp.1.225.000,- untuk membeli seragam, yang bahkan bilamana dilakukan cek faktual atas harga seragam dipasaran, harga seharusnya tidak lebih dari Rp.600.000.(*)
Wiwid Tuhu P. SH., MH.
Penulis adalah Advokat pada ASMOJODIPATI LAWYER’S dan Plt. Bupati LIRA Kabupaten Malang.