Mempidanakan Pengibar Bendera One Piece?

REAKSI aparatur hukum terhadap ide nakal warga negeri ini yang akan mengibarkan bendera Jolly Roger dari film animasi One Piece dengan ancaman pidana sungguh berlebihan. Entah apa maksud dan motifnya.
Apakah sekadar ingin bilang merah putih harga mati, atau apalah. Seakan penduduk bangsa yang mau pasang bendera ini tak sama kadar merah putihnya dengan mereka yang lebih sering justru dianggap banyak menodai kesucian putih sang saka dengan tindakan di luar hukum dan semena-mena.
Sudah banyak tulisan atau komentar mengenai isu ini di media sosial atau bahkan di tulisan opini media-media online. Secara umum digambarkan bahwa pengibaran bendera milik tokoh Luffy itu hanyalah simbol kritik terhadap situasi ini. Apakah kalau begitu berarti kritik pun sudah tak lagi dibolehkan dan karenanya diancam pidana? Tambah ruwet rasanya kalau begitu.
Tapi apakah benar pengibaran bendera bajak laut Luffy ini bisa dipidana? Mari kita tengok aturannya dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Sebagaimana lazimnya model konten undang-undang di sini, di mana di setiap bagian agak akhir selalu memuat ketentuan pidana. Seperti cara pikir umum aparatur hukum yang menempatkan pidana bukan sebagai ultimum remedium, tapi primum remedium, setiap produk undang-undang selalu dilengkapi dengan aturan pidana.
KUHP yang sudah seabrek pasalnya seakan masih kurang saja untuk mengatur larangan dan ancaman buat rakyat. Kalau ada sedikit saja indikasi kesalahan, langsung dikeluarkan rumus-rumus ancaman pidana, bukan lainnya. Kayak penjara masih nampung saja buat para pelaku tindak pidana.
Namun begitulah model hidup di negeri ini. Meski penjara sudah kepenuhan, tetap saja orientasi penegakan hukum diarahkan untuk menambah penghuninya biar sesak nafas penghuni di dalamnya. Alih-alih untuk mengurangi jumlahnya kayak di luar negeri, banyaknya penghuni rutan seakan jadi prestasi penegakan hukum.
Kembali ke aturan pidana dalam UU di atas. Aturannya dimuat dalam Pasal 66 sampai 71. Khusus untuk pengibaran bendera, ancaman pidananya hanya dimuat dalam dua pasal, yakni Pasal 66 dan 67. Dari sisi ancamannya, perbuatan pidana di sini terkategori ringan karena ancamannya di bawah 5 tahun dan dengan denda maksimal 1 juta rupiah.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Pasal 66 adalah: merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau perbuatan lainnya. Tidak dijelaskan apa jenis perbuatan lain ini secara tegas. Di sini jadi ada semacam area abu-abu untuk sebuah jenis pidana yang semestinya bersifat pasti (lex certa) dan tegas (lex stricta). Frasa “perbuatan lain” dalam rumusan pasal ini memang patut diperhatikan, atau bahkan diuji ke meja Mahkamah Konstitusi, karena dapat mengundang tindakan semena-mena tafsirannya.
Yang jadi tambahan penting dalam rumusan delik di pasal ini adalah mens rea atau kehendak batin atau niat dalam bahasa fikih, atau di sistem tetangga sebelah (Anglo Saxon) dikenal dengan istilah motif. Kata ini yang tiba-tiba populer melampaui jagad peminat ilmu hukum saat ini karena perkara Tom Lembong yang barusan menghirup nafas kebebasan gara-gara abolisi dari Prabowo. Dalam pasal ini disebutkan secara eksplisit apa tujuannya, yakni: menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera.
Nah, bagian ini yang ruwet pembuktiannya. Tak mudah untuk membongkar sesuatu yang tersembunyi dari tujuan tersebut. Dalam kasus pengibaran bendera Jolly Roger, apakah memang ada niat seperti itu? Dari pelbagai cuitan di medsos, tak tampak tujuan dari pengibarannya kecuali sebagai ungkapan reaksi frustasi, gelisah, kecewa, atau kritik terhadap situasi yang ada. Ancaman aparatur hukum dengan pidana bagi pengibar Jolly Roger menyiratkan tuduhan bahwa tujuan dari pemasangannya adalah dengan tujuan salah satu dari yang dimuat dalam Pasal 66.
Eit, sebentar dulu. Kalaupun anggapan niatnya memang seperti itu, kan perbuatannya tidak masuk dalam kategori perbuatan yang dilarang. Bukankah yang berencana memasang bendera Jelly Roger tetap akan memasang Bendera Merah Putih dan tidak merusak, menginjak-injak, merobek, membakar, atau perbuatan tidak senonoh lainnya terhadap simbol ini? Jadi, dari sisi ini, ancaman dengan pasal ini rasanya tak terpenuhi unsurnya.
Kita lihat selanjutnya di ketentuan Pasal 77. Perbuatan yang dilarang di sini adalah: memakai Bendera untuk reklame atau iklan komersial; mengibarkan bendera yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain, memasang lencana atau benda apapun pada Bendera; memakai Bendera untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, atau tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera.
Di sini, pemasangan Jolly Roger sama sekali tak berhimpitan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Kecuali memang ternyata Bendera Merah Putih yang dipasang bersama atau di atas Jolly Roger itu rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam. Ini sih memang cari perkara.
Dari kententuan Pasal 77 ini sebenarnya secara implisit memunculkan sebuah kewajiban lain bagi negara yakni memastikan Bendera Merah Putih yang dipasang warga benar-benar kinclong, rapi, dan berwibawa. Jika memang pengibaran bendera itu tidak boleh yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam, sudah seharusnya negara memfasilitasi warganya untuk memiliki bendera yang baik dan rapi, bahkan terlihat baru.
Bagaimana ceritanya warga bisa diseret ke urusan hukum karena tidak punya uang untuk beli bendera yang bagus tapi tak ada kewajiban bagi negara untuk menyediakannya di tengah situasi ekonomi yang runyam sekarang ini. Di saat nyari beras murah dan tidak oplosan susah didapat dan penghasilan tak bisa diperoleh dengan pasti untuk bertahan hidup, dan yang tersedia hanya sebuah bendera lusuh dan lapuk karena tak bisa beli yang baru, malah dengan memasangnya meski dengan niat cinta tanah air dan ingin menegaskan kemerdekaan diri dan bangsa dari penjajahan masa lalu dan masa kini, malah bisa dituntut pidana.
Dari ketentuan yang ada, ntah aparat yang mengirimkan sinyal ancaman pidana kepada yang mau pasang Jelly Roger di acara Agustusan ini sudah membacanya atau tidak, atau jangan-jangan punya pegangan aturan lain yang tak diketahui oleh rakyat seperti biasanya tiba-tiba muncul undang-undang baru yang tak pernah diketahui asal-usulnya di Senayan sana, atau karena saking merah putih dirinya yang gampang dengan mudah menuduh yang berbeda dari dirinya sebagai calon penghuni lapas.
Di momen ancaman kebanjiran rumah karena curah hujan yang tinggi saat ini di sekitar Jabodetabek, tambahan ancaman pidana bagi yang melihat jalan animasi sebagai jalan alternatif karena realitas tak lagi dapat dipercaya sebab mendapati rekeningnya yang hanya berisi sejumlah uang yang pas-pasan untuk beli 5kg beras disegel bank kemarin, ancaman urusan bendera ini mungkin sudah tak dianggap penting lagi. Apalagi memang tak ada dasar hukumnya untuk mengancam itu.
Aparat yang kemarin mengancam lewat media sebaiknya segera didisiplinkan untuk kembali membaca undang-undang dan aturan atau duduk bareng ngopi pahit bersama warga yang mau pasang bendera Jelly Roger agar lebih kenal dengan sosok Luffy yang pemberani dan pembela yang tertindas. Nobar animasi One Piece kayaknya perlu digelar di bulan ini, meski episodenya terlalu panjang dan banyak untuk yang sibuk ngurusin ancaman pidana untuk warga.(*)
Andi Syafrani
Presiden DPP LIRA.